Banda Aceh – Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh menyelenggarakan pertemuan Forum Dekan dan Asosiasi Dosen Ilmu-Ilmu Adab (ADIA) se-Indonesia serta Konferensi Internasional Tahunan 2024.
Konferensi dengan tema “Strengthening Digital Humanities in Islamic Civilization, Literature, Culture, and Library Syudies (Penguatan Humaniora Digital dalam Peradaban Islam, Sastra, Budaya, dan Studi Perpustakaan) berlangsung selama tiga hari di Hermes Palace Hotel Banda Aceh, 17-20 Mei 2024.
Acara ADIA secara resmi dibuka oleh Prof. Dr. Khairuddin, MA, Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Keuangan dan Perencanaan UIN Ar-Raniry, mewakili Rektor UIN Ar-Raniry, Prof. Dr. Mujiburrahman, MA.
Konferensi ini diikuti oleh 27 perwakilan fakultas seluruh Indonesia dari anggota Forum ADIA dengan total 206 peserta, di mana 60 di antaranya merupakan dosen dan mahasiswa dari FAH UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Pada ADIA ini dibagi sembilan sesi panel yang membahas berbagai isu sesuai dengan sub tema yang ditetapkan dengan jumlah 109 makalah ilmiah.
ADIA 2024 Aceh mengundang M. Arskal Salim GP, Sekretaris Balitbang dan Diklat Kemenag RI, menjadi pembicara kunci dalam kegiatan tersebut yang mengamati pentingnya budaya dalam membangun bangsa. “Indonesia kaya akan keragaman budayanya. Indonesia memiliki 1.340 suku, 2.500 bahasa daerah, dan enam agama resmi. Keragaman tersebut adalah kekayaan yang tidak dimiliki negara lain,” tegas Arskal.
Konferensi ini juga menghadirkan tiga narasumber dari luar negeri, antaranya Prof. R. Michael Feener dari Kyoto University Jepang, Prof. Dr. Moustafa Mohammed Rizk Elsawahly dari Universiti Islam Sultan Sharif Ali Brunei Darussalam, dan Assoc. Professor Dr. Shamila dari Universiti Teknologi MARA, Malaysia.
Sedangkan dalam pembicara kunci dari dalam negeri, Prof. Eva Leiliyanti, Ph.D dari Universitas Negeri Jakarta, Prof. Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, MA, dan Hermansyah, M.Th., M.A.Hum dari UIN Ar-Raniry Banda Aceh.
Pada hari kedua konferensi ADIA tersebut, Hermansyah menyajikan presentasi terkait “Jalur Rempah dan Manuskrip”, sebagai bagian dari program nasional yang telah berjalan beberapa tahun untuk kemudian diusulkan warisan dunia Unesco.
Program jalur rempah harus diperkuat bukti-bukti otentik dan relevan dengan narasi yang komprehensif, bukan hanya catatan-catatan dari bangsa luar yang singgah ke Nusantara, tetapi juga yang sangat penting adalah arsip-arsip yang ditulis oleh orang dalam seperti surat-surat (sarakata), kitab, dan berbagai bahan lainnya.
Menurut Hermansyah “Jalur rempah menjadi pemersatu para bangsa-bangsa di Nusantara tempo dulu, jaringan perdagangan satu wilayah dengan wilayah lainnya telah menyatukan keseragaman di setiap wilayah. Oleh karena itu, surat-surat Sultan di Kesultanan Pasai dan juga Sultan Kerajaan Aceh menyebut beberapa lokasi yang menjadi titik pelabuhan pada era itu”.
“Selain itu, surat dan naskah-naskah Aceh berkaitan jalur rempah juga memiliki koneksi dengan negeri Arab, Turki, Inggris, Portugal, Belanda dan beberapa Negara di Asia Tenggara” lanjut Herman yang juga salah satu tim Jalur Rempah Aceh untuk Nasional.
Hermansyah sebagai Ketua Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara) Komisariat Aceh juga berharap di dalam Forum ADIA tersebut dapat membentuk sebuah sistem database manuskrip atau arsip yang terintegral antar kampus, sehingga dapat diakses secara bersama, termasuk pengelolaan, penelitian dan pemanfaatan bersama.