ALI RABAN, kameramen RCTI menceritakan kengerian dalam peristiwa Tragedi Simpang Kertas Kraf Aceh (KKA) Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh, medio 1999.
Kasus ini berawal saat seorang personel TNI Sersan Dua Aditia dari Satuan Arhanud Rudal Pulo Rungkom, Aceh Utara, tidak pulang ke markas setelah mendengar ceramah maulid Nabi Muhammad SAW di Lapangan Sepak Bola, Cot Murong, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, pada Kamis malam, 30 April 1999.
Komandan Mayor Santun Pakpahan saat itu, memerintahkan untuk mengawasi dakwah itu. Militer Indonesia kala itu menyebutnya dengan sebutan “Dakwah Gerakan Aceh Merdeka”.
Dalam ceramah itu dibahas soal bagaimana kemerdekaan Aceh dan lain sebagainya. Lalu, pada Jumat, 31 April 199, tiga truk mencari keberadaan Sersan Aditia. Mereka khawatir Aditia meniggal dunia dalam tugas karena diculik Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Aksi para tentara itu memicu protes warga. Mereka menolak kedatangan tentara di kampungnya di Desa Cot Murong. Demonstrasi besar pun digelar pada Sabtu, 1 Mei 1999. Akhirnya, hari itu disepakati bahwa keberadaan Sersan Aditia akan dicari oleh aparat desa dan tokoh masyarakat. Kesepakatan ini diambil dalam rapat di kantor Camat Dewantara, saat itu camat di sana, Marzuki.
Namun, pada Minggu, 2 Mei 1999, tentara kembali masuk kampung. Misi yang sama yaitu mencari Sersan Aditia. Hari ini, beredar kabar bahwa tentara memukul warga Desa Lancang Barat, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, karena tidak mengetahui keberadaan Sersan Aditia.
Isu ini lalu meluas. Ratusan warga datang ke Simpang Kertas Kraf Aceh. Sepanjang jalan dari simpang itu ke pusat Kota Krueng Geukuh ditutupi lautan manusia. Mereka berdemonstrasi pada, Senin, 3 Mei 1999. Apalagi, saat itu, beredar kabar ada warga yang diculik TNI dari satuan Arhanud Rudal.
“Saya bersama Imam Wahyudi, Almarhum Umar HN datang ke lokasi untuk liputan. Kami terjebak di lautan massa. Saya bahkan sempat melihat Camat Marzuki, dalam bahasa sekarang dibuly oleh pendemo di lokasi,” kata Ali Raban per telepon, Kamis (12/1/2022).
Ali saat itu bekerja sebagai kameramen untuk almarhum Umar HN. Dia pula yang merekam detik demi detik peristiwa yang mengenaskan itu. Saat itu, kata Ali, tiga truk TNI tak bisa bergerak di lautan massa.
“Tiba-tiba terdengar suara tembakan dari orang yang mengendarai sepeda motor. Karena suara tembakan ini lah, prajurit TNI yang di dalam truk langsung melepaskan tembakan ke atas,” kata Ali.
Selanjutnya, demonstran yang sebagian membawa parang, cangkul, kayu dan lain sebagainya itu kocar-kacir mendengar suara rentetan senjata. Ali sembari tiarap merekam peristiwa yang diakui Presiden Joko Widodo itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.
“Setelah itu saya tidak tahu lagi berapa banyak korban totalnya. Luka-luka. Korban paling saya ingat, ada anak Saddam Husein, yang meninggal dunia. Ini tak jauh dari lokasi saya tiarap,” kata Ali mengenang peristiwa itu.
Dia menyebutkan, paska rentetan tembakan itu, Ali sempat didatangi seorang prajurit TNI. “Dalam hati saya, habislah saya hari ini. Prajurit itu bilang, ini kan yang kamu mau. Ini kamu mau, kalian GAM juga,” kata Ali, menceritakan bagaimana prajurit TNI itu menodongkan senjata ke arahnya.
Paska peristiwa, sebagian korban dibawa ke arah Krueng Mane, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara. Kabarnya, kata Ali, yang dibawa kearah Muara Batu meninggal dunia semuanya. Sedangkan yang dibawa ke Rumah Sakit Arun, di Lhokseumawe, sebagian besar selamat.
“Kalau ke arah Muara Batu yang ada Puskesmas. Kabarnya meniggal semua,” kata Ali.
Melarikan Diri
Paska kejadian, Ali Raban, almarhum Umar HN dan Imam Wahyudi, melarikan diri ke Banda Aceh. Mereka dicari oleh personel TNI.
“Kami sudah curiga akan dicari sejak awal. Maka, Bang Umar saat itu bersama Imam memutuskan untuk kita menyelamatkan diri. Sembari mengirimkan kaset rekaman ke Jakarta, kita ke Banda Aceh,” kata Ali.
Dia menyebutkan, setelah Presiden Joko Widodo mengakui peristiwa itu sebagai kesalahan negara pada masa lalu, alangkah baiknya negara hadir ke lokasi.
“Memintaa maaf pada korban langsung,” terang Ali.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Joko Widodo mengakui sejumlah pelanggaran HAM berat di Indonesia. Salah satunya, Peristiwa Tragedi Simpang KKA, di Aceh Utara, pada tahun 1999.
|KOMPAS