Selama kurang lebih 3 bulan di Provinsi Namggroe Aceh Darussalam (NAD) atau biasa disebut orang-orang sebagai Serambi Mekkah Indonesia. Lebih tepatnya di Kabupaten Aceh Utara Kecamatan Muara batu di desa Reuleuet mulai pada bulan September tanggal 01 hingga kini Desember sekarang. Belajar, belajar, belajar itulah yang saya lakukan disini, datang sebagai Mahasiswa Pertukaran dan mengikuti seluruh rangkaian kegiatan Modul Nusantara yang sudah di tentukan jadwalnya.
Hari pertama masuk kampus
Senin tanggal 5 Semptember adalah hari pertama saya menginjakan kaki di Universitas Malikussaleh (Unimal). Salah satu Universitas yang didirikan dengan mengambil nama besar Raja Kerajaan Samudera Pasai pertama yakni, Sultan Malikussaleh. “Siapa dia?” Yah dia adalah Sultan pertama kerajaan Islam Samudera Pasai yang dalam sejarah tercatat sebagai Kerajaan Islam pertama di Nusantara yang menjadi cikal bakal pusat pengembangan dan penyebaran agama Islam di kawasan Nusantara dan Asia Tenggara. Sangat menggemaskan bukan??
Waktu itu Pukul 07.00 kami (Mahasiswa Pertukaran) di jemput oleh bis kampus menuju Universitas Malikussaleh lebih tepatnya di kampus Bukit Indah (BI) , Universitas Malikussaleh. ini sangat unik. Kenapa saya mengatakan demikian? Karena kampus Unimal tidak hanya berada di satu lokasi saja tetapi juga di beberapa lokasi lainya misalnya yaitu kampus utama berlokasi di Jl. Medan – Banda Aceh, Cot Tengku Nie, Reuleuet, Kab. Aceh Utara, dan kampus lain berada di 4 lokasi yaitu Bukit Indah, Cunda, Lancang Garam dan Sigli, dan lokasi dari masing-masing kampus sangat jauh. Dalam perjalanan aku cukup kaget melihat jarang sekali ada mobil angkutan umum (Angkot) seperti di kota-kota lain, entah apa penyebabnya. Banyak hal yang membuat saya kaget ketika pertama kali sampai di kampus Unimal ini. Kampus yang sangat luas dan bisa di katakan asri, dengan berbagai fasilitas sarana olahraga di dalamnya seperti, lapangan sepak bola yang seukuran lapangan bola Nasional, juga tenis, bola voly, basket dan lainnya di dalam lokasi kampus. Juga ama-nama jalan di kampus itu yang melambangkan nama-nama pulau di Indonesia, seperti Jalan Kalimantan, Sumatra, selawesi hingga Papua. Akan tetapi ada satu yang paling membuat mata aku terbuka lebar yakni sangat banyak kera yang berkeliaran di lingkungan kampus, dan juga tak kalah unik adalah ruangan belajarnya yang berbentuk seperti rumah saya di Ternate.
Jurnalisme Etnografi Ke Makam Putro Neng
Hal yang menarik Dalam kegiatan Pertukaran Mahasiswa Merdeka (PMM 2) ini kami tidak hanya belajar di dalam ruangan saja tetapi juga mengikuti Modul Nusantara (MN). Di mana kita ajak untuk mengeksplorasi keberagaman budaya adat istiadat, mempelajari tradisi-tradisi, berkunjung ke tempat-tempat yang di sakralkan masyakat, merasakan makanan khas, berkunjung tempat-tempat wisata, bertemu dengan tokoh-tokoh inspiratif dan juga tempat-tempat bersejarah/ monumen-monumet bersejarah. Salah satu di di antaranya adalah berkunjung ke makam putro neng.
Pada minggu ke 2 setiba di Aceh, kami kelompok 3 tim Modul Nusantara yang di dampingi oleh kakak khairia, mahasiswi hukum semester 7 selaku mentor dan pak Ayi Jufridar selaku dosen pendamping kami selama kegiatan Modul Nusantara, kami melakukan kunjungan ke makam Putro Neng.
Hari itu kami (Mahasiswa Pertukaran) berangkat kisaran pukul 15.00 dari kampus menuju makam putro neng, lokasinya tidak terlalu jauh dengan kampus. Kegiatan awalanya di lakukan di dalam kelas, tepatnya di ruangan kantor pusat bahasa Universitas Malikassaleh. Di ruangan tersebut kita masuk materi tentang sejarah mitos Putro neng yang materinya di bawakan langsung oleh dosen pendamping kami pak ayi jufridar selaku wartawan yang pernah meriset soal sejarah/Mitos putro neng. Pembelajaran di lakukan dalam kelas selama 2 jam dan di lanjutkan dengan diskusi dengan pemateri. Setelah itu di lanjutkan berkunjung ke makam Putro Neng. Tepatnya di dusun Arongan, Desa Blang Pulo, Kecamatan Muara Satu, Kota Lhokseumawe. Setiba disana saya cukup di buat kaget ketika melihat kondisi makam tersebut, makam yang tersusun rapi dengan prasasti batu nisan dengan lukisan kaligrafi yang sangat indah itu berada di samping jalan raya dan hanya di batasi oleh pagar dengan ukuran ketinggian sekitaran 30cm, kelihatanya sangat tidak terawat. Pagar beton yang sudah retak-retak, berlubang dan tidak di cat. Kondisi yang sangat membutuhkan perhatian pemerintah setempat. Setiba di sana kami di arahkan untuk melepaskan alas kaki baik sepatu maupun sandal sebelum masuk ke dalam. Untuk memasuki area makam tidak di pungut biaya sepeserpun bahkan kedatangan kami di sambut hangat, kami pun melakukan wawancara dengan penjaga makam tersebut. Ibu Kamariah namanya. Singkat cerita, Putroe Neng ini adalah seorang perempuan yang memiliki 99 suami namun semua suaminya meninggal dunia (Wafat) setelah menghabiskan malam pertama. Konon katanya setelah menghabiskan malam pertama, para suami putoe neng langsung meninggal dunia dengan kondisi badan membiru karena terdapat racunn di dalam organ intim putroe neng. Namun karena letak makam dengan jalan raya sangat dekat, abu dan polusi pun berterbangan di dalam area makam putro neng dan sangat menggangu wawanacara kami hari itu.
Selain berkunjung ke makam putro neng kami juga di ajak untuk bertemu tokoh2 inspiratif salah satunya kakak Rohani seorang pelukis hebat yang mengalami disabilitas, melihat pembuatan rencong (senjata tradisonal) secara Hendmade dan masih menggunakan alat-alat tardisonal, merasakan makanan khas aceh yang penuh dengan aneka bumbu, berkunjung ke monument samudra pasai, makam para sultan, mempelajari/ mengenal tardisi khanduri dan kesenian ale tunjang yang hampir punah di rayap jaman, belajar tarian-tarian khas aceh (Tarek Pukat), dan yang tidak akan saya lupa adalah ketika mendengar khutbah sholat jum’at menggunakan bahasa aceh, dan ini semua adalah sejuta pengalaman paling berharga bagi saya.